Sebuah
catatan sejarah yang berawal dari sekelompok manusia yang memiliki kesukaan dan
cita-cita yang sama, mencintai dan mengagumi alam dengan
keindahan-keindahannya. Bertahun-tahun lamanya meniatkan hati untuk mendaki
Gunung Semeru dan akhirnya terwujud.
Berbekal
kerja keras dan semangat, sore ini, Rabu
19 Juni 2013, kami berdelapan yang
terdiri dari para Guru, Karyawan, dan alumni dari SMK Negeri 5 Semarang
melakukan sebuah ekspedisi menapaki Mahameru, puncak tertinggi di Tanah
Jawa.
Casts
:
PAK Heru , Pak Pri, Pak Yudo : 3 guru yang sudah berkepala empat
namun semangatnya untuk mendaki gunung bisa sampai mengalahkan mereka-mereka
yang masih muda.
Pak Irvan : berprofesi sebagai guru juga
hanya saja masih muda, perlu rasanya untuk tidak mengkategorikan dengan
beliau-beliau yang disebut sebelumnya. Hihihi ^^
Ade dan Yayan : Karyawan sekolah yang amat cakap
dan tentunya tidak pernah menolak kalau diajak naik gunung.
Azwan dan Budi : Alumni yang masih berumur 20-an
tahun yang kalau ditanya hobby utamanya apa, tidak akan ragu dan tidak akan
gugup mereka akan menjawab “mendaki gunung”.
TO
THE STORY:
Semarang, Rabu 19 Juni.
Kami
bertolak dari Semarang menuju Kota Malang
dengan menggunakan mobil travel. Kita memilih naik travel untuk
mempermudah jam keberangkatan. Karena sebagian besar dari tim masih ada
kesibukan dengan pekerjaan di Rabu pagi dan siang. Sekitar pukul 16.00 kami
memulai perjalanan menuju kota Malang, dengan tujuan langsung di Pasar
Tumpang. Rencanannya selepas sampai di
pasar Tumpang kami akan langsung dijemput oleh jeep yang sudah kami booking sebelumnya, dan berisitirahat di
rumah si sopir jeep, Pak Laman namanya.
Dengan
semangat jiwa dan do’a kami mengawali perjalanan agar nantinya diberikan
kelancaran mulai dari berangkat sampai pulang ke rumah masing-masing. Perkiraannya kami sampai tiba di Pasar
Tumpang hari Kamis 20 Juni pukul 02.00 WIB. Disepanjang perjalanan tidak banyak
obrolan-obrolan yang berbobot, dan beberapa lebih memilih untuk beristirahat.
Mungkin karena seharian tadi masing-masing disibukkan dengan pekerjaan sehingga
kecapekan. Atau hitung-hitung mempersiapkan energi untuk pendakian esok. Karena
sesuai rencana kami akan langsung berangkat
menuju Ranu Pani pukul 06.00 WIB.
Kamis 20 Juni – Malang
Pukul 02.30
Sebuah
perjalanan yang lancar namun sedikit melelahkan badan. Sekitar pukul 02.30 WIB
kami sampai di Pasar Tumpang, 30 menit lebih lama dari perkiraan kami. Sampai
di Pasar Tumpang, sudah berdiri Pak Laman dengan jeep merah nya untuk menjemput
kami. Masing-masing berjabat tangan kepada Pak Laman sambil memperkenalkan
diri, seperti menerjemahkan sebuah
keakraban antar sesama manusia mulai tercipta.
Bergegas
setelah loading tas ransel di atas
jeep kami segera menuju kediaman Pak Laman. Tidak lebih dari 5 menit kami sampai
di rumah si bapak. Dengan ramah dan logat jawa ala Jawa Timur-an Pak Laman
mempersilahkan kami masuk ke rumahnya. Dan hebatnya sudah tersedia ruangan
lesehan beralaskan tikar yang sengaja disediakan untuk kami.
“Monggo
Pak..Mas…silahkan tiduran-tiduaran dulu. Kamar mandi ada di pintu samping lurus
ke belakang”, tutur Pak Laman ramah setelah mematikan dan turun dari jeep nya.
“Nggih
Pak, terimakasih...”, sahut Pak Pri riang.
Tidak
lama setelah kami membaringkan tubuh di atas tikar datanglah istri Pak Laman
yang masih terlihat ngantuk membawakan teh hangat dan menyuguhkan untuk kami.
“Silahkan
diminum teh hangatnya Pak..Mas..”, Bu Laman menawarkan.
“Ohh..nggih..
terimakasih Ibu, jadi ngrepotin..".
Kami
sungguh beruntung mendapatkan sopir jeep sekaligus teman baru seperti Pak
Laman. Begitu baik dan ramah. Masing-masing dari kami mengambil segelas teh
hangat dan beberapa juga lebih memilih untuk tidur, mungkin karena kecapekkan
duduk 10 jam-an di dalam mobil. Obrolan-obrolan kecil pun tumpah. Meski dengan
mata sayup-sayup lelah masih bisa menciptakan senyuman-senyuman manis di antara
dinginnya pagi desa Tumpang
Kamis, 20 Juni pukul 05.00
Setelah
beres packing tas carrier dengan bawaan masing-masing dan
mengenakan kaos tim yang khusus dibuat, kami kemudian berangkat menuju Ranu
Pani dengan jeep yang kali ini warna hijau bersama Pak Sopir. Namun sebelum itu
kami mampir dulu di sebuah warung sederhana untuk sarapan pagi sekaligus
membungkus nasi untuk jatah makan siang.
Pukul
06.00, kami memulai perjalanan menuju Ranu Pani, berseru dengan yong udara pagi
yang segar di desa Tumpang yang jarang kami dapatkan di kota-kota besar seperti
Semarang. Sekitar 15 menitan kami meninggalkan desa-desa disekitar kawasan
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan
memasuki kawasan hutan konservasi. Baru awal memulai perjalanan kami disuguhi
pemandangan yang menyejukkan mata, semua kanan dan kiri kami adalah pepohonan
tinggi yang banyak didominasi cemara yang menjulang ke langit dengan jurang-jurang
indah di dasarnya. Seolah jika diterjemahkan mereka semua sedang hangat
menyambut kedatangan kami yang terkagum-kagum memandangi mereka. Masing-masing
dari kami pun terdiam sambil tersenyum menikmati setiap lukisan alam yang
menggambarkan betapa Hebatnya Tuhan menciptakan alam ini dengan
keindahan-keindahan-Nya.
Melanjutkan
perjalanan menaiki jeep kami terus menanjak yang belum menemui ujung.
Ranging-ranting pohon yang melalang memberi tantangan tersendiri untuk kami
yang berdiri di bak jeep.
“Awas
Pak Heru ada ranting.....!!!” Seru Pak Irvan ke Pak Heru.
“Sreeeekk….Plaaaaaakkk…aduuuuuh…”
“Ahh..kamu
pak, ngingetinnya telat. Udah kena kepala baru teriak, payah..payah.”, pak heru meringis
“HAHAHAHA…”,
semua tertawa.
“Ya
Maaf beh..” tambah Pak Irvan masih dengan ketawa-tiwi.
1
jam-an lebih kami disuguhi pemandangan yang sama dan luar biasa. Kami saling
ngobrol, tertawa, dan saling ejek-ejekan ringan seolah seperti bukit bahwa
kedekatan persahabatan ini tidak terbataskan lagi. Tak lama kemudian kami
dihadapkan lagi dengan sebuah ciptaan Tuhan yang sungguh sangat indah yang
entah bagaimana harus mengungkapkannya. Iya, persis di sisi kiri kami terlihat Bukit Teletubbies dengan hijau rumput
dan pohon-pohonnya yang memenuhi setiap bukit-bukitnya melambai-melambai kepada
kami. seolah-olah ingin mengucapkan selamat datang kepada kami yang kemudian
kami balas dengan jutaan senyum kekaguman kearah bukit.
Seolah
tidak ingin cepat-cepat beranjak mengagumi keindahan bukit yang memiliki nama
unik ini, kami mengarahkan mata kami memandangi bukit mulai dari ujung barat
sampai ujung timur. Persis seperti sedang merekam sebuah object menggunakan
recorder.
Pak
Laman menghentikan jeep nya dan mematkan mesin mobilnya.
“Pak…Mas…mau berhenti di sini sambil foto-foto
dulu gak nih?”, tanya Pak Laman ramah.
“Iya
Pak….boleh banget”, jawab kami kompak.
Kami
turun dari jeep dan berfoto-foto dengan object background Bukit Teletubbies
yang tersenyum di belakang kami.
“Mas….foto
bareng-bareng. Sini saya fotoin”, Pak Laman menawarkan bantuan.
“Ohh…boleh
boleh Pak”,
Semuanya
berdiri rapi membelakangi bukit
“Siap
yah..”
“1…2…3….”
“Jepreeett….jepreeettt…jepreeett..”
“Matur
nuwun nggih Pak..”
“Siip….”
Sekitar
15 menit ber-jepret-jepret
mengambil gambar kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos Ranu Pani yang tidak
lama lagi sampai.
Pukul 08.00 – Ranu Pani
“Ciiiiit….sreeekkkk….”
“Kita
sudah sampai di Ranu Pani”, tutur Pak Laman sambil memakai jaket hangatnya.
Beruntung
sekali pagi ini cuaca di Ranu Pani cerah. Karena menurut Pak Laman yang hampir
setiap hari datang ke Ranu Pani bercerita kalau di hari-hari terakhir
sebelumnya sering turun hujan sepanjang hari. Semoga ini sebuah awalan yang
baik buat kami.
Sebentar
menikmati udara sejuk pagi di Ranu Pani kami mengambil tas carrier yang dibantu Pak Laman. Selesai menurunkan semua tas
kami berpamitan untuk waktu sementara kepada Pak Laman, dan meninggalkan lokasi
parkir mobil jeep menuju Pos Resort Ranu Pani. Di Pos ini kami melakukan
registrasi administrasi sebelum melakukan pendakian. Pendaftaran dari tim
diwakili 2 orang dengan membawa kelengkapan administrasi yang sudah kami
siapkan dari Semarang, yang berupa: Surat Tes Kesehatan, Foto Copy KTP, dan
sebuah materai.
“Ayook
bro….”, ajak Budi ke Ade sambil membawa persyaratan yang diwajibkan yang
dibungkus rapi di amplop besar warna cokelat.
"cuss.."
"cuss.."
Mereka
berjalan masuk tempat pendaftaran pendakian.
“Jadi
berapa total semua yang mendaki mas?”, tanya petugas administrasi ke kami.
“Delapan
orang pak..”
“Ini
silahkan diisi form pendataannya ya. Bagian yang tidak perlu dilewati saja.”
Tutur petugas sambil menyodorkan lembaran-lembaran form pendataan pendakian.
“Banyak
juga ya, kamu aja deh bro yang nulis. Tulisan kamu kan bagusan, hihihihi”, ucap
Budi ke Ade yang sebenarnya memang malas nulis.
“Hmmm….”,
jawab Ade datar.
Setelah
selesai melengkapi form pendaftaran yang disyaratkan kami kembali berkumpul
merapat membuat lingkaran kecil dan berdoa bersama untuk memulai pendakian
menuju Mahameru. Do’a dipimpin oleh Pak Heru.
“Bakilah
teman-teman yang saya cintai, sebelum memulai pendakian mari kita berdo’a agar
diberikan kekuatan untuk menapaki setiap tanjakan yang menghadang, kesabaran
dalam melangkah , serta kelancaran di setiap perjalanan mulai dari awal
menapakkan kaki di Ranu Pani sampai pulang meninggalkan Ranu Pani tanpa suatu
kekurangan satupun”.
AMIIN,
berdo’a selesai.
Pukul 08.30 – Langkah Pertama
Selesai
berdo’a kami semua meletakkan tangan kanan di tengah dan bersorak “SMK 5
Hebaaaaat”, yang sekaligus memulai perjalanan ekspedisi pendakian Gunung
Semeru. Di posisi paling depan ada Pak Pri sebagai pemimpin perjalanan, karena
Pak Pri yang lebih banyak pengetahuan dan referensinya soal jalur Gunung
Semeru. disusul di belakang Pak Pri ada
Azwan, Yayan, Pak Irvan, Pak Yudo, Pak Heru, Ade, dan di paling belakang ada
Budi.
“Treeeek….”
Kami membuat langkah pertama meninggalkan Ranu Pani menunju Puncak Mahameru. Di
sini, Di Ranu Pani yang diam dan tenang kami memulai menanjakkan kaki kami
untuk sebuah ekspedisi menggapai puncak tertinggi di tanah Jawa, Mahameru.
Awal
Pendakian dimulai dengan melewati daerah kabun. Langkah-langkah awal seperti
biasa dihiasi dengan sedikit obrolan kecil yang lebih terkesan banyak diamnya.
Selang sekitar 200 meter kami memasuki gapura
ucapan selamat datang untuk para pendaki Gunung Semeru yang setelahnya
dipertemukan dengan tanjakan yang terjal.
Jalan
menanjak, terlihat setiap anggota tim berjalan menanjak pelan, mungkin untuk
mengatur nafas dengan berat barang bawaan yang lumayan berat. Dan semua
benar-benar terlihat tidak sedang ingin meciptakan percakapan. Hening.
“Ayooo Pak Yudo, semangaaaat,… sedikit lagi
landaian nih”. Teriak Pak Pri ke arah bawah. “Siapp!"
Pak
Yudo adalah anggota tim yang secara fisik memiliki tantangan yang lebih berat
karena memiliki postur badan yang besar.
Meninggalkan “tanjakan selamat datang” kami melanjutkan perjalanan
dengan track yang banyak landainya.
Kami menargetkan perjalanan dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo memerlukan waktu
selama-lamanya 5 jam. Kami terus berjalan menyusuri jalur menuju Landengan
Dawa. Jarak dari Ranu Pani ke Landengan
Dawa adalah 3Km dengan track yang landai panjang dan beberapa tanjakan terjal.
Pukul 11.00 WIB
2
jam lebih berjalan dan banyak istirahatnya akhirnya kami sampai di Landengan
Dawa. Kami istirahat cukup lama di sini. Kami membuka bungkusan nasi yang kami
bawa dari Tumpang untuk makan siang. Terlihat sekali raut wajah dari setiap
anggota yang sangat kelelahan. Sungguh Landengan Dawa adalah sebuah sambutan
hangat yang banyak menghadiahkan keringat. Setelah meletakkan tas carrier kami
meregangkan otot-otot kaki dan membuka kue serta makanan ringan sebelum
akhirnya manyantap nasi bungkus yang tercium sangat sedap, mungkin karena
kondisi tenaga terkuras sehingga perut lapar.
Selesai
makan siang dan dirasa kenyang kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Pos 2,
Watu Rejeng. Jarak Landengan Dawa menuju Watu Rejeng sama seperti sebelumnya,
yaitu 3KM. Namun dengan medan track
yang agak berbeda.
“Yok….lanjuuttt..”,
seru Pak Pri memimpin perjalanan.
Kami
berjalan menyusuri setiap jalan setapak yang cukup landai, sesekali ada
tanjakan terjal namun tidak sering. Di sepanjang perjalanan kami sering
berseberangan dengan pendaki-pendaki lain yang sedang turun. Saling berucap
sapa dan menyemangati. Sekitar 2 jam berjalan kami masih belum ketemu dengan
Watu Rejeng, sementara di belakang beberapa anggota tim terlihat sangat lelah.
“BREAK..!!!!”
"fiuuhh...!!! " Pak Heru kelalahan.
"fiuuhh...!!! " Pak Heru kelalahan.
Kami
istirahat di bawah pohon yang agak luas datarannya sambil duduk meletakkan tas
carrier.
“Waduuuhh…lumayan
capeknya”, gumam Pak Heru lirih.
“sebenarnya
jalannya gak begitu nanjak-nanjak amat, hanya barang bawaan kita ini kali ya
yang bikin berat”, Pak Yudo berpendapat.
Tidak
ingin terlalu lama istirahat kami melanjutkan perjalanan lagi. Masih dengan
jalur yang agak sedikit menanjak.
30
menit berlalu, Kali ini jarak antar tim tidak lagi berdekatan. 4 orang sudah
berjalan jauh di depan, yang terdiri dari Pak Pri, Pak Irvan, Yayan, dan
Azwan. Sementara 4 orang lainnya
tertinggal di belakang. Pak Heru dan Pak
Yudo terlihat sangat kelelahan. Sementara Ade dan Budi kewalahan karena tas
carrier nya dipenuhi tenda.
“BREAK..!!!”
seru Pak Yudo sambil duduk meletakkan tas carriernya.
Mereka
beristirahat di sebuah jembatan yang agak lebar. Di sini mereka benar-benar
menghabiskan waktu untuk istirahat untuk mengontrol kondisi tubuh dan
menyiapkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan menuju Watu Rejeng. Saking
capeknya dan dengan posisi duduk yang PW Ade
sampai tertidur. Sebuah percakapan di antara keringat yang mengucur di kulit
badan pun tercipta.
“Lendangan
Dawa, aku tidak akan melupakanmu, lelah dan keringat ini adalah bukit kita
pernah bertemu” gumam Pak Yudo lirih yang dibalas dengan senyuman kecil Pak Heru, Ade, dan Budi.
Lebih dari setengah jam ke-4 anggota tim terakhir ini beristirahat yang dihiasi dengan kegiatan menghabiskan coklat, agar-agar jelly, dan gula merah sebelum akhirnya melanjutkan pendakian kembali.
Lebih dari setengah jam ke-4 anggota tim terakhir ini beristirahat yang dihiasi dengan kegiatan menghabiskan coklat, agar-agar jelly, dan gula merah sebelum akhirnya melanjutkan pendakian kembali.
“Ayook
lanjut”
“Oke..mari
kita kemon"
Pukul 15.00 WIB
Keempat
anggota tim yang berada di belakang terus berjalan menapaki jalur track menuju
Watu Rejeng. Sesekali bertemu pendaki lain yang sedang menuruni gunung.
“Mas
Watu Rejeng masih seberapa jauh ya?”, tanya Pak Heru ramah kepada salah seorang
pendaki yang sedang santai berjalan
bersama rombongannya.
“Ohh,
sebentar lagi pak, 15 menitan mungkin”
Dengan
sisa tenaga dan semangat yang keempat orang ini miliki, mereka terus menapakkan
kakinya mencapai Watu Rejeng. Dan puluhan menit kemudian akhirnya kedelapan
orang yang tadinya terpisah menjadi dua kelompok kini berkumpul kembali di Pos 2, Watu Rejeng. Kondisi Pos Watu
Rejeng yang cukup luas dan datar cocok untuk beristirahat santai ramai-ramai.
“Walah beh, lama banget jalannya. Kami menunggu sampai tertidur belum juga sampai, hahaha”, ujar Pak Pri dengan nada bercanda kepad Pak Heru.
“Walah beh, lama banget jalannya. Kami menunggu sampai tertidur belum juga sampai, hahaha”, ujar Pak Pri dengan nada bercanda kepad Pak Heru.
“wah asli kakiku gemetar terus setiap kali
naik tanjakan lek.."
Setelah
menginstirahatkan badan dan mengumpulkan tenaga kami kembali melanjutkan
perjalanan menuju Ranu Kumbolo yang masih berjarak 3Km lagi.
“Semangat
teman-teman, sebentar lagi kita akan sampai di Ranu Kumbolo”, seru Pak Pri
dengan topi coboy nya yang mencoba menyemangati anggota tim.
“Siap…komandan….!!!”,
Sesekali
kami berhenti membungkukkan badan, mengatur nafas, dan melangkahkan kaki
kembali. Seolah tidak ada hal lain lagi untuk menggapai Mahameru selain rasa
semangat dan optimis.
Kami
terus berjalan menyusuri jalur menuju Ranu Kumbolo. Sesekali ada anggota tim
yang terpeleset di becekan-becekan yang menganga di tengah jalanan.
“Aduuuh….”, teriak Ade yang jatuh terpeleset
jatuh membuat sepatu sendalnya berhiaskan lumpur.
“Hahahaha…”,
sahut anggota tim lainnya yang lebih memilih tertawa ketimbang menolongnya
melihat Ade dengan muka kesalnya.
Perjalanan
kembali dilanjutkan. Setelah sekali terjatuh dari tanah yang berlumpur, seolah
Ade memiliki phobia setiap kali menemui jalan yang tidak bersahabat itu.
Hihihi….
Pukul 16.30 WIB
Seakan
tidak pernah menyerah melangkahkan kaki menyusuri jalur yang belum berujung,
kami terus menapaki jalur yang lebih banyak landainya. Hingga pada akhirnya
kami menjumpai sebuah tempat dipenuhi air biru yang meluas dengan bukit-bukit
meghijau yang mengelilinya. Pantulan-pantulan senja sore menyibakkan seluruh
tumpahan air yang meluas itu, seolah menciptakan cahaya-cahaya kecil yang
berkelip di atas nya. Kami berdiri diam,
mengambil nafas panjang, mengeluarkannya perlahan, dan berkaca-kaca memandangi
setiap lekukan dari sisi-sisi yang danau berhempit mesra dengan kaki bukit.
“Teman-teman,
selamat datang di Ranu Kumbolo, surganya Gunung Semeru”, ucap Pak Pri mantap
kepada seluruh anggota tim.
Kami
yang berada di atas bukit menghentikan langkah kaki yang sebetulnya ingin
langsung berlari ke bawah menuju danau dan bermain dengan
keindahan-keindahannya. Seakan hasrat untuk segera bercumbu dengan Ranu Kumbolo
tak tertahankan. Kami perlahan menuruni jalur menurun yang kanan kirinya adalah
hamparan ilalang-ilalang yang menghijau membentang di setiap gundukan bukit.
Hembusan angin yang hangat membawa kami turun mendekati Ranu Kumbolo.
Kabut
tebal menginjak sore perlahan memenuhi seluruh luasan danau. Tidak lama hujan
pun turun, menghiasi setiap langkah kami menuju camping ground. Seolah segala
rasa lelah yang bertumpu di pundak dan kaki hilang beriringan menyusupnya sang
surya meninggalkan Ranu Kumbolo.
Senja
pun mulai datang, terlihat barisan pohon pohon yang mengelilingi setiap sudut
bukit nampak muram. Kami tiba di ground camping di sebelah Danau Ranu Kumbolo
yang sudah ramai dipenuhi pendaki-pendaki lainnya yang sudah tengah
menghangatkan diri bercanda dengan teman-temannya di dalam tenda yang
bercahayakan sebuah lampu senter yang tidak terlalu terang. Kami putuskan untuk
tidak membangun tenda dahulu, karena hujan masih deras mengguyur kawasan danau.
Beruntung sekali ada bangunan sejenis pos peristirahatan berdindingkan tembok
yang masih kosong. Kemudian kami meletakkan tas carrier dan menggelar matras
berkumpul ngobrol-ngobrol sambil membicarakan kelanjutkan ekspedisi ke puncak
Mahameru.
Hari
mulai gelap, Kami dihadapkan pada suatu permasalahan dalam rencana melanjutkan
perjalanan mencapai Mahameru. Kami sebelumnya menargetkan tiba di Ranukombolo
pada pukul 14.00. Namun kenyataannya
jauh dari apa yang kita duga. Dari target awal mencapai Ranu Kumbolo 5 jam an, kami menghabiskan waktu
sampai 8 jam. Permasalahan pertama sebetulnya adalah soal waktu. Kami berfikir
jika mulai melanjutkan perjalanan menuju Kalimati dilakukan setelah kami
selesai makan malam di Ranu Kumbolo yang kira-kira pukul 18.30 sepertinya agak
susah. Berat bagi kami untuk melewati jalan yang gelap yang belum pernah kami
lalui sebelumnya. Terlebih di jalur setelah Cemoro Kandang sebelum kalimati
banyak sekali jalur-jalur cabangan. Kami khawatir kalau sampai salah menapaki
jalur dan akhirnya tersesat. Selain itu cuaca di Ranu Kumbolo sampai kami
selesai makan masih dalam kondisi hujan deras. Tentunya jika tetap melanjutkan
perjalanan menuju Kalimati ini akan memperlambat gerak perjalanan kami.
Sedangkan normalnya pendakian menuju Kalimati dari Ranu Kumbolo dilakukan di
waktu jauh sebelum matahari terbenam sehingga dengan langkah cepat sampai
Kalimati mereka belum sampai gelap.
Hitung
punya hitung dan melihat segala kemungkinan serta resiko keselamatan yang bakal
terjadi, akhirnya kami mengurungkan niat untuk mendaki sampai puncak.
“Sahabat-sahabat
yang saya banggakan, selamat untuk kita semua sebelumnya sehingga kita dengan
berbagai rintangan atas rahmat Allah bisa sampai di Ranu Kumbolo. Namun melihat
waktu dan kondisi cuaca yang kurang mendukung, mungkin belum saatnya kita untuk
mencapai puncak Mahameru”, tutur Pak Pri kepada seluruh anggota tim.
Semuanya mengangguk.
Terlihat
sekali wajah-wajah datar dari setiap anggota tim yang jika diterjemahkan
seperti sedang berkata “Ya sudahlah, mungkin belum rejeki dan waktunya untuk
berada di puncak Mahameru”. Kekecewaan sudah pasti ada, namun tidak ada hal
yang lebih penting memposisikan diri memahami kondisi alam. Sehingga sebagai
pendaki yang berfikir kita tahu kapan harus terus melangkah, menghentikan
langkah, dan kembali menjauh dari tujuan langkah. Bukanlah dia yang ceroboh
tidak memiliki sikap dan tidankan yang benar dalam melihat bahaya tanda-tanda
yang alam berikan.
19.00 - Malam di Ranu Kumbolo
Selesai
berdiskusi yang berujung dengan pembatalan mencapai Mahameru, kami membongkar
tas carrier dan mengeluarkan kompor serta paraffin untuk menyiapkan makan
malam.
“Wah
masak yang gurih-gurih sedikit pedas cakep nih”, ucap Pak Yudo ceria sambil
mengelus-elus perutnya.
“Nyeduh
yang hangat-hangat juga cocok nih”, tambah Pak Heru dengan senyuman manis khas
nya yang seolah meminta anggota-anggota tim yang muda untuk segera berkemas
memasak.
Kelima manusia-manusia yang masih tergolong remaja pun langsung beraksi mengerjakan apa yang bapak-bapak tersebut “minta”. Azwan dan Budi bagian membuat teh, jahe, dan kopi. Sedangkan Ade, Om Irvan, dan Yayan sumringah membuat nasi dan menghangatkan lauk berupa tempe kering dan rendang sapi yang sengaja dibawa dari rumah.
Kelima manusia-manusia yang masih tergolong remaja pun langsung beraksi mengerjakan apa yang bapak-bapak tersebut “minta”. Azwan dan Budi bagian membuat teh, jahe, dan kopi. Sedangkan Ade, Om Irvan, dan Yayan sumringah membuat nasi dan menghangatkan lauk berupa tempe kering dan rendang sapi yang sengaja dibawa dari rumah.
“Bud,
aku teh nya jangan manis-manis ya”, pinta Pak Pri ke Budi.
“Siap boss”
“kalau
aku jahenya yang manis Bud”, tambah Pak Heru yang memang amat mencintai jahe manis.
“Kalau
Pak Yudo rikues apa?”, tanya Azwan
ke Pak Yudo.
“Apa
aja boleh dah”
Tidak
ada satu jam makan malam beserta minuman hangat sudah tersaji manis di antara
kami yang duduk melingkar agak renggang. Aroma khas rendang sapi yang masih
panas tercium sedap di antara dingin angin malam Ranu Kumbolo. Pak Irvan yang
duduknya paling dekat dengan nasi secara sukarela mengambilkan nasi untuk ke
tujuh anggota tim. Piring pertama diberikan untuk Pak Heru, diteruskan ke Pak
Yudo, Pak Pri, dan anggota yang lainnya.
“Sebelum
menikmati hidangan yang lezat ini, mari berdo’a atas segala nikmat yang Tuhan
karuniakan untuk kita hari ini, berdo’a dimulai”, Pak Heru memimpin do’a.
“Amiin..”
Makan
malam untuk pertama kalinya di Ranu Kumbolo. Dihiasi sisa-sisa rintikan hujan
yang membasahi tanah di sekitar danau. Semua terasa begitu nikmat dan mesra.
Terlihat semuanya menikmati setiap satu sendokan yang masuk ke mulut. Sesekali
sambil meneguk air putih dari botol.
“Ini
kok nasinya rasanya nikmat banget ya”, gumam Pak Pri lirih dengan mulut yang
masih dipenuhi nasi dan rendang.
“jelas
ajalah siapa dulu yang masak”, jawab ketiga master chief dadakan Ade, Pak
Irvan, dan Yayan kompak.
“Ahh….emang
dasar perutnya lagi pada kelaparan tuh”, tambah Pak Heru sambil menggigit
daging rendang yang agak alot.
“HAHAHAHA..”
semuanya tertawa.
Rasa
lelah yang tadinya menempel lekat di pundak seolah terlepas seiring tawa yang
tercipta di sela-sela menikmati makan malam di Danau Ranu Kumbolo yang terasa
semakin dingin. Semuanya menikmati apa yang sudah tersaji di atas tikar.
Terkadang bukan berapa kwantitas dan mahal nya makanan yang membuat semua
nikmat, melainkan kesederhanan di dalam kebersamaan dengan orang-orang terdekat
yang membuat kesemuanya itu terasa nikmat.
Hari
semakin malam, terlihat pohon-pohon berwajah muram dengan rintikan gerimis yang
masih menghujam. Kabut putih yang pekat turun perlahan menapaki bukit memenuhi
danau yang seakan ingin menyelimutinya dan mengajaknya ke dalam tidur yang
lelap. Kami masih menikmati saat-saat bersama dengan segelas kopi yang mulai
terasa dingin. Obrolan demi obrolan masih memenuhi setiap sudut ruangan yang
berukuran kecil yang membuat suasana semakin intim. Satu persatu orang mengambil
sleeping bag dan membiarkan tubuhnya terbungkus hangat sambil bercerita tentang
obrolan-obrolan ringan di tepi Danau Ranu Kumbolo.
Malam
ini bintang tidak terlihat di Ranu Kumbolo. Kami lebih memilih tidur lebih awal
karena rencanannya besok pagi-pagi ingin pergi sampai Kalimati.
Jum’at,
21 Juni - Ranu Kumbolo
Pukul 05.30
“De..De…tolong
ambilin kamera di tas kayaknya sunrise nya bakalan cakep nih”, pinta Pak Pri ke
Ade yang sudah berdiri dengan jaket hangatnya di depan Ranu Kumbolo.
Menjelang
matahari terbit pemandangan Ranu Kumbolo
sudah dipenuhi manusia-manusia yang lengkap dengan kamera dan handycam.
Berbondong-bondong menunuggu munculnya sang mentari cantik yang biasa muncul di
antara kedua bukit yang menutupi danau dari kejauhan. Kabut putih tebal yang
semalam menyelimuti danau kini tak terlihat. Membuat sebuah pemandangan yang
indah menjelang matahari terbit.
Tidak
lama kemudian sang surya perlahan muncul menampakkan keindahannya. Letak nya
persis di antara dua bukit yang merangkul Ranu Kumbolo. Sinar nya yang masih
ranum membuat pantulan indah di danau. Semua orang termasuk kami mengambil
moment yang sangat berharga ini. Berfoto dengan background danau dan matahari
terbit di Ranu Kumbolo. Sungguh sebuah kesempatan yang tidak semua orang bias
dapatkan.
Matahari
mulai meninggi, menghangatkan tubuh yang dari semalam terasa dingin terbungkus
sleeping bag. Pagi ini kami harus bergegas masak menyiapkan sarapan pagi untuk
kemudian berangkat menuju Pos Kalimati. Meskipun kami telah gagal untuk menggapai
puncak Mahameru, tetapi kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk
mengunjungi Kalimati. Terlebih kami masih memiliki cukup banyak waktu.
Seperti
biasa, para bapak-bapak yang dituakan duduk bersantai membuat obrolan sembari
menunggu kawula muda memasak menyiapkan minuman hangat-hangat dan sarapan pagi.
“Okey..masak
apa kita pagi ini ya enaknya?”, tanya Yayan sambil membuka bungkusan berisi
sarden, kornet, mie instan, dan makanan yang lain.
“Masak
sarden ikan dan soup sossis sepertinya cakep nih”, jawab Ade riang.
“iya..iya..itu
boleh juga”, tambah Pak Irvan meyakinkan.
Seperti
biasa, ketiga master chief dadakan Ade, Yayan, dan Pak Irvan bertugas
menyiapkan sarapan. Sementara Budi dan Azwan memasak minuman hangat-hangat yang
kali ini tidak perlu menanyakan takaran gula teh manis kepada Pak Pri, atau
seberapa manis jahe untuk Pak Heru.
“Taraaa.....Makanan
siap…”, ujar Ade girang sambil meletakkan soup dan sarden yang harumnya
langsung memenuhi ruangan berukuran kotak 4x4 meter itu.
“Sebentar ya Pak nasinya belum matang nih, 10 menitan lagi kayaknya!”, teriak Yayan dari dapur minimalis yang dibuat di ruangan pojok di sebelah camp.
“Ayooo…cepat, jangan lama-lama, sudah pada lapar nih” jawab Pak Yudo santai.
“Sebentar ya Pak nasinya belum matang nih, 10 menitan lagi kayaknya!”, teriak Yayan dari dapur minimalis yang dibuat di ruangan pojok di sebelah camp.
“Ayooo…cepat, jangan lama-lama, sudah pada lapar nih” jawab Pak Yudo santai.
Tidak
lama kemudian nasi sudah matang dan terhidang berjejer bersama sarden ikan,
soup sozzis, dan tempe kering sisa semalam yang sudah dihangatkan. Semuanya
sarapan, seperti biasa do’a dipimpin oleh Pak Heru. Terlihat semuanya amat
menikmati sarapan pagi ini. Kami harus makan yang cukup karena setelah sarapan
kami akan berjalan lumayan jauh lagi menuju Kalimati.
Selesai
sarapan kami packing membawa barang-barang yang kira-kira perlu, seperti:
jaket, slayer, dan kamera. Serta membawa bekal makanan ringan berupa air minum,
cokelat, roti dan susu. Sengaja kami tidak membawa semua barang yang ada di
dalam tas ransel karena hanya akan membuat perjalanan terasa berat. Toh untuk
perjalanan ke Kalimati kali ini ada Pak Yudo tidak ikut dan memilih tinggal di
camp. Jadi barang-barang yang kami tinggal di camp dijamin aman.
Pukul 08.00 – Menuju Kalimati
“De,
kamera sudah dibawa kan”, tanya Pak Pri santai ke Ade
“Udah
Pak..”
“Siip…”
“Ayoook
jalan kawan..” seru Pak pri yang seperti biasa memimpin rombongan tim ekspedisi
menuju Kalimati.
Awal
perjalanan menuju Kalimati kami melewati Tanjakan Cinta yang meninggi cukup
tajam. Dinamakan tanjakan cinta karena gabungan kedua bukit nya yang berbentuk
seperti tanda love. Konon ceritanya, siapa yang berjalan menanjaki Tanjakan
Cinta tanpa sekalipun menoleh ke belakang sampai di atas bukit sambil
membayangkan seseorang yang dia cinta maka permintaanya itu akan menjadi
kenyataan. Yah namanya mitos, bisa dipercaya bisa juga tidak. Hehehe
“Hahhhh…..berat
juga yah”, ujar Pak Heru yang kecapekkan sambil berdiri mengatur nafas nya yang
ngos-ngosan.
“Ayooo
Pak Heru…sedikit lagi sampai di atas bukit”, teriak Azwan ke arah bawah mencoba
menyemangati.
Tidak
ada lima belas menit semua sudah berada di atas bukit Tanjakan Cinta. Semua istirahat
duduk-duduk sambil melihat kemegahan Danau Ranu Kumbolo yang semakin cantik
dilihat dari atas. Tidak lupa aksi jeprat-jepret pun dimainkan. Ade yang paling
jago dalam mengambil gambar memotret satu persatu dari kami.
“Sini bro, gantian kamu tak fotoin”, ucap Budi ke Ade.
“Sini bro, gantian kamu tak fotoin”, ucap Budi ke Ade.
“jepret..jepret….jepret”.
Puas
menikmati Danau Ranu Kumbolo dari atas bukit Tanjakan Cinta kami melanjutkan
perjalanan lagi. Kami menuruni bukit menuju sebuah tempat yang teramat luas dan
indah. Hamparan ilalang menyebar ke setiap badan-badan bukit. Serta ungu bunga
Lavender yang terbentang meluas memenuhi daratan yang membuat kami
melompat-lompat seperti sedang kegirangan. Iya, kami sedang berada di Oro-oro
Ombo.
Pemandangan
yang kami dapat lihat di Oro-oro ombo sungguh sangat istimewa. Tidak terpikir
sekalipun ada kumpulan bunga-bunga indah Lavender dengan satu warna yang
bersembunyi di balik bukit. Perjalanan ke Mahameru adalah perjalanan yang
selalu dipenuhi dengan kejutan-kejutan. Seolah-olah jika kita hitung dari awal
memulai perjalanan dari Tumpang ada saja hadiah dari alam yang diberikan kepada
kami. Sungguh alam sangat ramah dan berbaik hati sama kami. Dan inilah tugas
kita untuk membalas segala kebaikan alam itu, yaitu dengan menjaganya agar
tetap lestari dan hidup selayaknya mereka hidup sebagai ciptaan Tuhan yang
memberikan banyak manfaat untuk manusia.
30
menit an kami melewati Oro-Oro Ombo sambil jeprat
jepret kemudian kami sampai di Cemoro Kandang. Di sini kami beristirahat
duduk-duduk sambil menikmati keindahan Oro-Oro Ombo yang semakian indah dilihat
dari kejauhan sembari merasakan sejuknya angin yang berputar-putar disekeliling
pohon cemara yang berjejer ramai menumpuki bukit. Ketika kami tengah istirahat
kami bertemu dengan pendaki kecil yang berumur sekitar tahun yang bernama Putra
Enggal. Si Enggal kecil mendaki bersama Ibu, Ayah, dan kakeknya. Melihat
seorang pendaki dengan umur yang masih belia itu kami terkagum-kagum dan kami
sempatkan untuk berfoto bareng si kecil. Kebetulan kami dan keempat teman
pendaki baru itu beristirahat bareng. Kami mengobrol banyak dengan
beliau-beliau.
“Wah
adik Enggal hebat banget bisa kuat mendaki sampai di sini”, tanya Pak Irvan
sambil nyubit pipi Enggal yang sudah
mirip bakpao.
“Iya
dong, siapa dulu bapaknya, porter Mahameru, hehehe” jawab bapak nya si Enggal riang.
“owalah….ternyata”,
tanggap semua orang yang ada di situ.
Cerita punya cerita, ternyata si
bapak ini hampir setiap seminggu sekali selalu mendaki Gunung Semeru. Ini nih
yang namanya luar biasa. Hehehehe… cerita berlanjut dengan ngobrol bersama
kakek si Enggal yang bernama Mbah Karyono. Kulit tangannya yang sudah terlihat
keriput serta rambutnya yang hampir sempurna beruban dengan semangat bercerita
tentang banyak hal kepada kami. Beliau bertutur bahwa pernah di suatu ketika
beliau hidup seorang diri selama satu bulan di Gunung Semeru tepatnya tinggal
di Arcopodo persis di bawah puncak Mahameru. Kami semua terkaget-kaget
mendengar cerita Mbah Karyono yang sedang mengenakan baju khas jawa berwarna
putih itu.
“Saya
tuh sampai sekarang masih belum mengerti mengapa dan apa tujuan saya
susah-susah hidup di gunung seorang diri yang tanpa membawa sebutir beras dan
korek api”, Mbah Karyono bercerita.
“Trus
apa yang panjenengan dapatkan dari “hal” itu, Mbah?” , tanya Pak Pri penasaran.
“saya
juga tidak tahu”, jawab Mbah Karyono sambil tersenyum yang seolah tidak ingin
bertinggi hati dengan kegiatan alam yang Mbah tuturkan.
Kami
semakin terheran-heran dengan Mbah Yono, sapaan akrab si mbah. Kita bisa
membayangkan bagaimana bisa hidup seorang diri di hutan yang lebat tanpa satu
penerangan dan secuil makanan apapun selama satu bulan. Dan sepertinya itu
hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar dekat dengan alam. Ketika Mbah Yono ditanya soal bagaimana beliau
mendapatkan makanan setiap harinya, beliau menjawab hanya memakan dedaunan,
buah-buahan, dan ranting-ranting yang ada di hutan.
“Saya
hanya ingin memposisikan diri saya seperti sebuah binatang di hutan, memakan
apa yang bisa dimakan, menyatu dengan alam selayaknya ia menerimaku sebagaimana
saya menerimanya ”, ungkap Mbah Yono bijak.
“Hebaattt,
luar biasa, ajaib”, gumam Pak Pri yang duduk bersebelahan paling dekat dengan
Mbah Yono.
Lama
bercerita akhirnya Mbah Yono beserta anak, menantu, dan cucunya itu berangkat
duluan melanjutkan perjalanan menuju Sumber Mani. Sebelum si Mbah pergi beliau
juga menawarkan kami untuk mampir ke rumah beliau yang kebetulan berlokasi di
dekat Danau Ranu Pani. Sungguh sebuah perkenalan yang baik dengan orang yang
sangat “baik”. Tidak lama kemudian kami
juga melanjutkan perjalanan kami menuju Kalimati.
“lanjut
lagi yuk, terlalu lama berhenti nanti malah kedinginan di sini”, ajak Pak pri
kepada tim.
Pukul 11.00 – Kalimati
Menapaki
jalur yang di ujung-ujung lebih banyak landainya akhirnya kami sampai di Pos
Kalimati.
“Yeah...Kalimati..”
Pemandangan Kalimati siang itu cukup ramai. Banyak tenda-tenda berdiri memadati kawasan bekas aliran lahar Gunung Semeru itu. Benar saja kalau banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini. Karena di sinilah mereka menyiapkan segala sesuatunya terutama fisik dan mental sebelum nantinya summit attack menuju puncak Mahameru.
Pemandangan Kalimati siang itu cukup ramai. Banyak tenda-tenda berdiri memadati kawasan bekas aliran lahar Gunung Semeru itu. Benar saja kalau banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini. Karena di sinilah mereka menyiapkan segala sesuatunya terutama fisik dan mental sebelum nantinya summit attack menuju puncak Mahameru.
“Bro,
minta roti nya dong ah”, pinta Azwan ke Ade yang lagi asik menaburi roti nya
dengan cokelat creem.
“nih…”
“Kayaknya
enak tuh”, tanya Budi ke Ade yang padahal niatnya memang ingin minta makanan
enak yang satu ini.
Sementara
Ade, Azwan, dan Budi lagi asik menikmati roti bertaburkan cokelat creem,
anggota tim lain sedang asik berfoto-foto di sekitar Kalimati yang banyak
dipenuhi Bunga Eidelweis.
“kamu
gak foto-foto Bud?”, tanya Ade ke Budi heran.
“Bodo
ah, enakan juga makan roti sama cokelat creem.” Jawab Budi mantap dengan mulut
masih dipenuhi roti.
“Ahh
gaya lo..”, tambah Azwan sambil menyenggol pundak Budi.
“serius..kali
ini aku lagi gak mau dipisahin sama kue dan cokelat creem ini, habisnya tadi
jalan lumayan jauh, laper bro, hehehe” jawab Budi ramai.
“Ahh
dasar, kalau udah megang makanan, lupa sama semuanya”, sindir Ade sambil
tertawa.
“terserah..”,
jawab Budi datar yang terus melanjutkan menggigit roti-roti tidak bersalah itu.
Cukup
lama di Kalimati menikmati suasana dingin di Kalimati akhirnya kami turun
kembali menuju Ranu Kumbolo.
“Turun
yookk, kasihan Pak Yudo sendirian di camp”, ajak Pak Heru kepada anggota tim.
“okeyy…mari
kita kemon”
Perjalanan
turun menuju Ranu Kumbolo dari Kalimati tidak sampai memakan waktu dua jam.
Perjalanan pulang lebih cepat karena lebih banyak menurun ketimbang nanjaknya.
Pak Heru yang biasa terlihat banyak diam ketika menemui tanjakan kini terlihat
riang dan banyak cakap.
“Ayoo..mas
semangat mas..”, ucap Pak Heru ke pendaki lain yang sedang menapaki tanjakan.
“semangat
mas..mbak.. Kalimati sebentar lagi..” seru Pak Heru kembali ke pendaki yang
tengah sempoyongan menaiki tanjakan.
“Iya
Pak, terimakasih”
“Ini
ceritanya bapaknya lagi seneng mbk..mas, maklum soalnya track nya landai
menurun, coba kalau nanjak, jangankan nyemangatin orang lain, diajakin ngomong
sama temannya sendiri bakalan gak disaut, wkakakakaa..” Ade tiba-tiba nyeletuk bermaksud mengejek Pak
Heru.
“HAHAHAHA…..”
semua tertawa.
Pukul 15.00
Menuruni
Tanjakan Cinta, kami kembali sampai di Ranu Kumbolo. Istimewanya, bebarengan
ketika kami sampai di camp, di atas tikar sudah tersaji nasi yang komplit
dengan lauk-lauknya.
“Pak
Yudo…benar kan ini camp kita?”, tanya Yayan heran
“Bukan,
camp kita ada di dasar danau. Ya iyalah ini camp kita, kaget ya sudah ada
makanan di sini?” jawab Pak Yudo yang sepertinya mengerti betul dengan
pertanyaan Yayan itu.
“HAHAHAHA..”
semua kembali tertawa.
Yayan
nampak males menanggapi ceramah Pak Yudo dan memilih mengambil piring menyerbu
makanan yang akhirnya yakin kalau semua masakan itu disajikan untuk dirinya dan
yang lain.
“Ini
masakan ternikmat sekaligus teristimewa dibandingkan masakan-masakan selama
saya di gunung”, ungkap Yayan sambil sambil mengunyah nasi dan kornet.
“Jelas
istimewa lah, tau-tau dari perjalanan jauh sudah ada nasi di atas tikar”, seru
Pak Heru.
“hahahaha..”
“Terimakasih
Pak Yudo untuk masakannya, persis nikmat banget Pak. Nasi nya juga pas”, Ade
menambahkan.
Dan semua bersuka cita menikmati makanan siang yang dibuat istimewa oleh Pak Yudo.
Dan semua bersuka cita menikmati makanan siang yang dibuat istimewa oleh Pak Yudo.
Haripun
menjadi malam, terlihat lampu-lampu senter indah menghiasi setiap tenda di
seberang danau. Cahaya lampu senter yang tidak terlalu terang membuat suasana
semakin akrab. Malam ini cuaca di Ranu Kumbolo cukup cerah. Menginjak pukul
19.00 kami menggelar matras di luar camp.
“Alhamdulillah
ya, malam ini gak turun hujan, ya walau gak begitu cerah banget sih”, gumam Pak
Pri lirih.
“Iya
nih, lumayan. Kayaknya bakalan cakep malam ini. Coba langitnya gak tertutup
awan, bisa lihat bintang pasti nih”, tambah Budi sambil mendongak ke langit.
“Kayaknya
ada yang kurang nih, gak ada anget-angetnya” gumam Pak Irvan datar.
Pak
Pri rada baikan malam ini. Mendengar gumamannya Pak Irvan yang mendambakan
minuman hangat, tanpa ada yang menyuruh, Pak Pri tiba-tiba berjalan masuk dapur
yang biasa kami gunakan untuk masak sambil sambil mengambil kompor, parafin,
dan air.
“wah
tumben-tumbenan nih..” seru Ade ke Pak Pri yang sedang menenteng-nenteng
peralatan masak .
“Mari
kita memasak air..” ucap Pak Pri sambil meletakkan bawaannya itu.
Kali
ini kami menikmati satu rasa minuman hangat, teh hangat.
Waktu
menunjukkan pukul 20.00. kami masih asik ngobrol menikmati suasana malam yang
cerah di Ranu Kumbolo. Sedikit demi sedikit kabut putih yang memenuhi langit
menepih. Mempertemukan kami pada bintang-bintang malam di atas danau Ranu
Kumbolo.
“Lihat-lihat….bintangnya
muncul satu tuh..” seru Yayan sambil menunjuk letak salah satu bintang.
“mana..mana..ohh
iya, bintangnya nongol, asyeeekk” tanggap Ade riang.
“Di
sebelah sana juga ada tuh,” tambah Pak Irvan semangat.
“Wohh
iya, tuh tuh di sudut sini juga banyak,” Pak Pri ikut heboh.
“Makin
banyak aja nih bintangnya, bakalan betah dah malam ini” ucap Budi sambil
mengusap-usapkan kedua telapak tanggannya yang terbungkus sarung tangan.
Malam
semakin larut, dibarengi dengan terbukanya langit yang sudah dipenuhi kerlip
bintang. Sementara teh hangat manis yang tersisa di nesting semakin dingin.
Kami masih dengan obrolan-obrolan ringan, menikmati malam indah di Ranu
Kumbolo. Hembusan angin yang dingin seolah ikut masuk di sela-sela obrolan
kami. Ini adalah malam terakhir di Gunung Semeru, besok pagi kita harus turun
menuju Ranu Pani karena akan dijemput oleh Pak Laman dengan jeep setianya.
“Besok
Pak Laman jemput kita jam berapa Bud?”, Tanya Pak Pri ke Budi.
“Kemarin
sih aku bilangnya jam satu an siang Pak”,
“Berarti
besok kita sudah harus cabut dari Ranu Kumbolo jam delapan.” Tambah Pak Pri
mantap.
“Betul..”
Sementara udara dingin semakin terasa di sendi-sendi tulang. Cahaya lamput senter di
antara tenda-tenda di sekitara yang tadinya agak redup kini sudah benar-benar
tak bercahaya. Seolah menerjemahakan keakraban dan obrolan di dalam tenda tadi
sudah selesai. Semakin hening, semakin mesra.
“Kayaknya
udah pada tidur ya”, ucap Pak Pri sambil melihat tenda-tenda di sekeliling.
“betul,
udah selarut gini juga soalnya.”
“Ya
udah, tidur aja yuk”
“Yok..”
semuanya berdiri dan masuk ke dalam camp.
Semua
masuk ke sleeping bag masing-masing.
“Selamat
tidur semuanya…” ucap Yayan sambil menutup sleeping bag nya,
“sreettttt…..”
“sreettttt…..”
22 Juni – Meninggalkan Ranu Kumbolo
“Ayo
bangun-bangun…masak buat sarapan pagi. Kita harus sudah sampai di Ranu Pani
sebelum jam satu” seru Pak Pri membangunkan anggota tim yang masih terbungkus
di dalam sleeping bag.
“Heeeeooaamm..”
“Masak
apa ya enaknya pagi ini?”
“Lauk-lauk
yang masih ada dimasak semua aja dah..”
“jadi
ceritanya pagi ini kita makan besar nih,..” gumam Azwan sumringah.
“Bukan
makan besar, tapi makan sisa-sisa, HAHAHAHA.” Saut Pak Heru ramai.
“Yaelah,
gak usah diperjelas gitu pak pak..” tambah Ade sambil ketawa.
“HAHAHAHAHA..”
semua ngakak.
“Ya
udah, yok hajaarrrrr..” seru Pak Irvan menuju dapur-dapuran.
Kami
masak dan mengerjakan tugasnya masing-masing. Agak lama durasi masak pagi ini.
Karena lauk yang kita masak benar-benar banyak dan ramai. Kami memasak semua
lauk yang masih tersisa. Karena selepas ini kami sudah turun lagi di pasar
Tumpang, dan makan siang di sana.
1
jam an berlalu, “Taraaaaa….sarapan pagi siap bapak-bapak.” Seru Ade sambil
meletakkan nasi yang kebulnya masih mengepul di antara bapak-bapak yang lagi
“jagong”. Disusul Pak Irvan dan Yayan
yang membawa lauk dan sayur yang kali ini memang benar-benar ramai.
“Wah..wah…kalau
kayak gini ceritanya jadi betah dan males pulang rumah nih.” Ungkap Pak Heru
bercanda sambil melihat-lihat masakan yang terhidang rapi di hadapannya.
“Yang
tinggal makan sih betah-betah aja. HAHAHAHA” Jawab Ade sambil ketawa.
“HAHAHA..”semua tertawa
Semuanya
makan, terlihat sangat menikmati hidangan sarapan pagi ini. Kami harus makan
yang cukup, karena setelah ini akan melakukan perjalanan yang jauh lagi, turun
kembali menuju Ranu Pani.
Pukul 08.00 – Menuju Ranu Pani
Sebelum
pergi meninggalkan camp kami memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
Sampah-sampah bekas semenjak hari pertama kami sampai di Ranu Kumbolo kami
kumpulkan jadi satu dan kami masukkan ke dalam plastik hitam besar.
“Semua
sudah beres? Gak ada barang yang tertinggal kan?” Tanya Pak Pri ke tim.
“Siappp…Beressss boss...”
jawab semuanya mantap.
Kembali
Pak Pri memimpin rombongan tim ekspedisi menuju Ranu Pani. Track pertama
diawali menaiki tanjakan menuju atas bukit. Berjalan membelakangi danau dengan
semangat yang baru. Sampai di atas bukit kami menoleh ke belakang kembali
memandangi Danau Ranu Kumbolo seperti awal ketika kemarin kami berjumpa
dengannya. Dengan tatapan yang penuh dengan kebahagiaan kami berikan tatapan
terakhir untuk danau. Dalam setiap diri di hati kami kira-kira berkata “suatu
hari nanti kita pasti akan bertemu lagi di sini”.
“Sampai
jumpa..sampai bertemu lagi di lain hari”, ucap Pak Pri sambil memandang tajam
ke bawah ke arah danau.
Semuanya
kembali berjalan, dengan langkah kaki semakin cepat meninggalkan Ranu Kumbolo.
Perjalanan turun jauh lebih ringan ketimbang waktu berangkat. Tidak terlihat
wajah-wajah yang pucat kelelahan sepanjang perjalanan. Pak Yudo yang biasanya tertinggal
kini berjalan di depannya Pak Pri, dengan ceria, dengan semangat, dengan
celoteh-celotehnya yang selalu bikin tertawa. Begitu juga dengan Pak Heru,
jarang sekali diam dan kembali ramai dengan bercandanannya dan tawanya yang
khas. Berkali-kali menyemangati pendaki lain yang sedang menanjaki jalur.
Sementara anggota tim lain menjadi makmum mendengarkan pelawak-pelawak separuh
baya ini heboh dengan aksi-aksi absurdnya.
Pukul 12.00 - Ranu Pani.
3
jam berjalan yang jarang istirahatnya akhirnya kami sampai Ranu Pani. Terlihat
banyak pendaki-pendaki yang sedang turun dari jeep sambil membawa tas
ranselnya. Wajar saja jika suasan Ranu Pani hari ini lebih ramai dari biasanya,
karena hari ini adalah hari sabtu. Sudah pasti banyak pendaki yang memulai perjalanannya
di weekend gini.
Selesai
melapor ke petugas resort Pos Ranu Pani kami lanjut berjalan menuju parkiran
jeep. Sebenarnya jeep yang akan menjemput kami sudah tiba di Ranu Pani. Namun
sebelum meninggalkan Ranu Pani kami mampir ke kediaman Mbah Karyono yang
ternyata berada di belakang persis parkiran jeep di depan Pura. Tiba di rumah
si mbah kami duduk-duduk sambil nyeduh teh hangat manis suguhan dari istri Mbah
Yono. Hampir satu jam kami asik ngobrol-ngobrol di teras rumah Mbah Yono.
Rumahnya yang sederhana dengan tanaman-tanaman bunga di depannya menambah
keasrian dan nilai indah tersendiri untuk rumah Mbah Yono.
Akhirnya
sampai di penghujung obrolan. Secangkir teh manis yang tadi penuh sudah
terlihat kosong.
“Kami
mohon pamit dulu ya mbah, terimakasih banyak untuk semuanya, dan maaf kalau
malah ngrepotin. Semoga suatu saat nanti kita bisa bersilaturrahmi kembali”,
ucap Pak Pri ke Mbah Yono.
“Sama-sama,
tidak ada yang merepotkan dan direpotkan, saya juga berterimakasih
sampean-sempean semua sudah mau mampir di gubug mbah ini. Semoga perjalanan ke
Semarang dan sampai di rumah lancar tidak ada sautu halangan apapun”, tutur
Mbah Yono bijak.
kami
bersalam-salaman, satu persatu berpamitan kepada Mbah Yono dan istrinya.
“Pareng
nggih Mbah…”
“Monggo..ndereaken”,
Kami
menuju tempat parkir jeep meletakkan tas carrier karena ingin mampir ke pusat
oleh-oleh Gunung Semeru. Nama tempatnya “Warung Langit”. Di sini dijual
berbagai macam gantungan kunci, sticker, dan berbagai jenis kaos khas
bergambarkan ala-ala Gunung Semeru. Kami membeli gantungan kunci dan kaos untuk
sekedar oleh-oleh buat keluarga dan kerabat kerja.
Setelah
dirasa cukup membeli oleh-oleh kami pun langsung naik jeep yang sudah berdiri
manis di depan warung.
“Mari
kita kemon Pak..” seru pak Heru kepada Pak Sopir yang kali ini dikemudikan oleh
kerabatnya Pak Laman.
Jeep
terus berjalan, meninggalkan Ranu Pani yang tenang dan diam. Kami kembali
memandangi Ranu Pani yang seolah ingin berpamitan dan berterimakasih atas
sambutan dan segala suguhan yang diberikan kepada kami. Roda jeep yang kekar
terus bermain dengan terjalnya jalan, semakin jauh….semakin hilang Ranu Pani
dari pandangan mata.
Kami
sudah pergi meninggalkan desa Ranu Pani dan memasuki kawasan yang kanan kiri hanya dipenuhi pohon-pohon besar
dengan jurang-jurang indah di dasarnya. Cuaca menjelang sore hari ini sedang
tidak terang. Kami terus berjalan menuruni jalan menuju Tumpang sambil diguyur
hujan. Gambarannya persis seperti film-film heroic di TV, berpetualang menaiki
jeep bertemankan hujan yang deras menghujam. Kami terus mengobrol dan tertawa
di bawah derasnya hujan.
Pukul 16.00 - Desa Tumpang
Hujan
deras tadi seolah memberikan kesegaran tersendiri bagi kami selepasnya tiba di
Tumpang. Kami berhenti di rumah Pak Laman dahulu sebelum pulang ke Semarang.
“Mandi-mandi
dulu aja Pak…Mas..” tutur Pak Laman kepada kami yang basah kuyup habis
kehujanan.
“Iya..Pak,
terimakasih”.
Satu
persatu dari kami mandi dan selepas itu kami mampir ke warung bakso yang
kebetulan berada di sebelah rumah Pak Laman, mengisi perut dahulu sebelum
pulang ke Semarang. Rencananya mobil travel yang kami pesan akan tiba di
Tumpang pukul 17.30. Masih ada sedikit waktu untuk ngobrol-ngobrol sambil
berterimakasih kepada Pak Laman atas segala kebaikan yang beliau berikan. Mulai
dari awal kami berangkat dijemput dari Pasar Tumpang sampai saat ini kami
ngobrol-ngobrol akrab di rumah beliau.
Pukul 17.30 – meninggalkan desa
Tumpang
Tidak
lama ngobrol-ngobrol dengan Pak Laman di ruang tamu rumahnya, mobil travel kami
sudah tiba di depan rumah Pak Laman. Sekali lagi, kami berpamitan kepada
orang-orang yang banyak membantu dan mendukung dalam ekspedisi kami. Kami
bersalaman kepada Pak Laman dan istrinya. Tidak lupa dibarengi ucapan
terimakash dan senyuman tulus. Kami memasukkan tas carrier ke dalam bagasi
mobil dan kembali berpamitan kepada Pak Laman sebagai salam perpisahan.
“Mari
Pak Laman, kami permisi dulu..”, tutur Pak Pri sambil senyum
“Monggo,.monggo
Pak…Mas..ndereaken..” Jawab Pak Laman sumringah sambil melambaikan tangan
kanannya ke arah kami.
Mobil
travel sudah menyalakan mesinnya. Kami mulai berjalan dan sesekali menoleh ke
belakang. Mengingat kembali apa yang sudah kami lakukan dan apa yang sudah kami
dapat. Sudah pasti ada sedikit rasa kekecewaan setiap dari kami karena gagal
mencapai puncak Mahameru. Namun lepas dari itu semua ada hal-hal yang seolah
mengganti rasa kekecewaan kami itu dengan kejutan-kejutan yang tidak habis diberikan
kepada kami. Mulai dari awal kita berjumpa dengan bukit Teletubbies yang
menghijau dan gundukan-gundukan cantik bukitnya, Danau Ranu Pani dan Ranu
Kumbolo yang diam dengan keindahan-keindahannya, serta Oro-Oro Ombo yang penuh
dengan rahasia keindahannya yang berdiam di balik bukit Tanjakan Cinta. Dan
dari itu semua ada sesuatu hal yang akan selalu melekat di hati kami. Kenangan,
pelajaran, dan kebersamaan di dalam beratnya menanjaki jalan yang terjal, atau
berbagi kehangatan di dalam segelas teh manis di Ranu Kumbolo. Kesemuanya itu
seolah tidak tidak akan bisa kami dapatkan jika tidak ada ikatan hati yang baik
di antara kami semua. Tiada indahnya membuat diri kita berkeringat susah
melelahkan badan dan kedinginan di antara keras nya hutan rimba, tetapi apa
yang lebih puitis selain berbagi kebersamaan dan saling tolong menolong bersama
sahabat-sahabat hati.
Sementara
hari semakin petang, mobil terus berjalan melampaui batas-batas kota Malang,
Kami memejamkan mata bersama kenangan-kenangan indah yang baru hari-hari tadi
kami ciptakan.
Dasar Zafran,,, paling bisa ngarang,, gawe buku rak wes,,, with your own words.. and your own creation,, it's gonna be a perfect story of your own,, hahahahahagz.. good job,, but i'll read this later because it's too many to read... oke oke oke
BalasHapusThanks for any advanced bro Ade, the way I write is based on what I read. the story probably still needs to be elaborated more. And I actually really want to tell more of what we had, where eventually it would be such a very interesting story. Cause I was like deliberately leaving some parts. Emm... I wrote the story above by my own words anyway :D
Hapushobi yang menarik http://riosankazi.blogspot.com/2013/09/smartfren-windows-phone-ascend-w1.html?showComment=1379998792417#c5392154451522383738
BalasHapus