Minggu, 28 Juli 2013

Buka Puasa Absurd di Suatu Hari Sabtu



Jadi ceritanya sore ini gue dan seorang temen dekat, Afif namanya, mau buka puasa di warung tenda penyetan di tempat langganan kami, di daerah deket-deket Java Mall tepatnya.  

“Ayo Fif berangkat, seperempat jam lagi maghrib..” ajak gue ke Afif.
“Kamu udah bawa duit kan mas?”, Tanya  Afif ringan.
“Udah, kamu udah juga kan?”
“Udah..”
“Siip..Berangkaaaat”

Afif menyalakan mesin motornya, boncengin gue menuju TKP.  Sebenarnya jarang-jarang sih kita makan di luar pakai motor segala. Bisanya cuma makan di Nasi Kucingan (sejenis warung angkringan di pinggiran jalan). Tapi kita ini kebetulan juga jarang ketemu, jadi bolehlah sesekali makan yang agak beda, hehehe…
Sampai di TKP….

“Waduh….warung penyetnya gak buka nih”, seru Gue sambil melihat di sekeliling dimana warung tenda itu biasa berdiri.
“Iya nih tumben-tumbenan..” tambah Afif heran.
“Aduh..kita udah sampai sini juga, males kalau mesti putar balik.” gumam gue.
“Ya udah kita cari warung makan yang lain aja mas, lagian udah mau adzan”. Afif mengajak.
“Ayook….tapi cari dimana ya?”
“Yang deket-deket sini aja mas, biar gak kelamaan”. 

Akhirnya kami pilih salah satu warung tenda penyetan yang berada tidak jauh dari warung yang menjadi sasaran utama kami.  

“Di sini aja gimana Mas?” Tanya Afif ke gue.
“Aku sih sembarang, ok2 aja…lha kamu?
“Aku juga sembarang kok..” jawab Afif mantap.
“Ya udah ayok..” ajak Gue yang diteruskan memarkirkan motor dan masuk ke tenda.



Kami masuk di dalam warung dilanjutkan memesan minuman dan kemudian duduk sambil lihat-lihat menu. 

“Mas, teh hangat satu dan es teh manis satu ya..” pesan kami kepada seorang mas2 yang lagi mengaduk teh.
“Okey .mas.” 

Kami duduk di kursi dan mengambil salah satu buku daftar menu yang ada di atas tumpukkan kerupuk-kerupuk didalam keranjang.

“Busyeet dah, ini serius harga lauk nya segini? Mahal banget” gumam Gue pelan sambil melihat-lihat macam lauk yang lain.
“Edyaan…mana cukup nih mas duit kita”, tambah Afif cemas.

Kami berdua terkaget-kaget karena daftar  lauk yang tersedia harganya mahal-mahal. Bahkan dari sederet daftar lauk yang ada, harga yang paling murah adalah Rp 10.000. Itu baru lauk nya, belum nasi dan minumannya.

“bentar-bentar Fif, kamu bawa duit berapa?” Tanya gue ke Afif.
“Aku cuma bawa 17 ribu doang..” jawab Afif pasrah.
“bentar gue cek duit di kantong..” gue merogoh-rogoh kantong celana.
“punya berapa mas?” Tanya Afif ke gue yang sepertinya berharap gue ada duit banyak.
“Mampus fif, gue malah cuma ada 15 ribu doang nih..” jawab gue tambah panik.

Kami bingung campur panik. Dijumlah uang kami hanya sejumlah 32 ribu. Sementara minuman udah terlanjur terpesan, dan setiap satu gelas teh nya 2 ribu, berarti dari 32ribu udah keambil 4ribu masih ada 28ribu. Dari daftar menu, 1 porsi nasi putih seharga 3ribu. Karena gak keren kan kalau kami cowok-cowok memesan nasi satu piring buat berdua, takut dikira pasangan yang lagi dalam pelarian. Hihihihi. Kami memesan 2 porsi nasi putih total 6ribu. Berarti sekarang uang kami yang belum kepakai masih 22ribu. 

“Nah ini fif, masih ada sisa 22ribu. Pokoknya kita pilih lauk yang paling murah”, ungkap gue sambil menunjuk-nunjuk harga lauk.

Kami tidak lagi melihat jenis lauk yang tersedia, melainkan melihat nominal harga lauk yang kalau di daftar menu ada di sebelah kanannya jenis lauk. 

“Eh ini mas ada yg 10ribu…”, seru Afif sambil menunjuk salah satu daftar harga.
“wew…tempe penyet?”, serius nih harganya semahal ini? Masa tempe aja 10rb?”, ucap gue kaget.
“udah mas gak apa-apa tempe penyet aja, ketimbang lauk sama kerupuk”, Afif menambahkan.
“Iya deh, tempe penyet aja. Gue juga gak mau kalau harus kenyang makan di sini tapi pulang gak pakai celana..”  jawab gue pasrah.

Akhirnya kami memesan 2 porsi nasi dan 2 porsi tempe penyet. Dan Sekarang duit kami tinggal 2rb rupiah. 

“Eh Fif, ini harga-harga yang ada di daftar menu berlaku untuk edisi Ramadhan juga kan? Maksudnya bukan hanya untuk tarif di hari bisaa. Takut aja kalau ada harga edisi lebaran yang lebih mahalan.” Gumam gue semakin cemas.
“gak tahu juga mas, moga-moga aja sih emang segitu harganya, gak pakai naik”, tambah Afif.

Sembari menunggu pesanan jadi kami masih memikirkan total harga buka puasa kami nantinya. Sengaja bawa uang seperlunya karena kami sudah tahu kisaran harga di warung penyetan langganan yang ingin kami tuju sebelumnya.

“Ini mas pesanannya, silahkan dinikmati..” ujar pelayan ramah.
“terimakasih mas…” jawab kami bahagia.

Kami berbuka puasa, menikmati nasi tempe penyet dan segelas teh manis. Rasa-rasanya kami tidak bisa menikmati makananan yang sedang kami santap. Bukan karena lauk tempe penyetnya, melainkan apakah nantinya uang kami pas untuk membayar semua yang kami pesan. Kayak ada yang mengganjal di pikiran dan membuat setiap sesuap nasi yang masuk ke mulut menjadi hambar. 
Kami selesai makan, 

“Yok mas pulang….” Pinta Afif ke gue.
“Ok…bentar, gue bayar dulu. Doa’in gue yak semoga duitnya gak kurang”, gumam gue sambil menepuk pundak Afif.
“Siiip…”, jawab Afif sambil tertawa setengah takut.
Gue melangkah menuju tempat dimana semua ketakutan yang dari tadi muncul,
“Udah mas, semua berapa ya?”, tanya gue ke mas-nya penyetan.
“Semua 30rb mas…”, jawab mas-nya ramah.
“Terimakasih mas…..” seru gue ke mas-nya sambil tersenyum puas.

Gue dan Afif keluar dan meninggalkan warung tenda penyetan itu dengan ekspresi penuh suka cita. Seakan terbebas dari jerat masalah hidup yang sungguh berat. Dan semenjak sore ini kami sadar, bahwa nikmatnya sebuah makanan itu tidak hanya terletak dari seberapa  mahal dan macam harganya, melainkan kesiapan diri kita untuk mengunyah makanan itu sendiri. Hehehe….










1 komentar:

  1. hahahaha...konyoolll...
    penglaman yang tak terlupakan...

    BalasHapus